PEMIKIRAN POLITIK AL-FARABI; SEBUAH PEMIKIRAN UTOPIS TENTANG NEGERI UTAMA

  1. Latar Belakang

Dalam sebuah kehidupan, bagaimana syarat-syarat suatu Negara yang ideal, kepala Negara yang ideal, system pemerintahan yang ideal, maka perlulah kita sebagai kalangan akademis untuk mengkaji sistem, bentuk dan kepala Negara yang ideal untuk Negara kita ini atau untuk berbagai Negara yang lain. Sebelum kita merumuskan itu semua, kita perlu untuk mempelajarai bagaimana para tokoh-tokoh politik islam dan barat meramu gagasan mereka dalam sebuah tulisan.

Berkaitan dengan mata kuliah Pemikiran Politik Islam, kita ditugaskan untuk mempelajari bagaimana pemikira-pemikiran tokoh politik islam di zaman islam klasik sampai kontemporer untuk membandingkan atau bisa digunakan bahan referensi yang tepat untuk pembelajaran ini. disini saya menulis sebuah makalah yang akan mengulas tentang salah satu tokoh pemikir Islam yang sering disebut-sebut sebagai maha guru kedua setelah aristoteles yaitu Al-Farabi. Bagaimana pemikiran dan konsep Negara menurut pandangan Al-Farabi selanjutnya akan dibahas dibawah ini.

PEMBAHASAN

  1. Biografi singkat Al-Farabi

Cendekiawan ini bernama lengkap Abu Nasr Muhammad Al-Farabi. Ada yang menyebut silsilah lengkapnya sebagai Abu Nasr Muhammad bin Muhammad bin Tharkhan.[1] Ayahnya adalah orang Persia yang menikahi wanita Turkestan sehingga ia terkadang disebut keturunan Persia, dan terkadang disebut keturunan Turkestan. Masa kecilnya tidak begitu banyak dicatat dalam sejarah. Hal ini menyebabkan masa kecil dan remajanya masih samar-samar hingga kini. Diyakini bahwa ayahnya yang menjadi perwira tentara membuatnya sering berpindah-pindah tempat tinggal. Sebelum menjadi seorang cendekiawan yang mapan pun, ia dikenal sangat bersemangat mencari ilmu meski harus pindah dari satu tempat ke tempat lain. Ia juga terkenal sangat mumpuni di bidang kebahasaan seperti bahasa Persia, Kurdistan, dan Turkestan. Kemudian dia pindah ke Baghdad guna menjadi murid Abu Bisyr Mattiyus/Bisyr Matta Bin Yunus untuk belajar ilmu logika.[2] Di kota ini juga Al-Farabi mendapatkan kemantapan dalam bahasa Arab melalui bimbingan seorang ahli Nahwu, Abu Bakr As-Sarraj, sebagai imbalan pengajaran logika yang diberikan Al-Farabi padanya.

Awalnya Al-Farabi tidak mengenal bahasa Yunani dan Syriac/Suriani, dimana keduanya adalah bahasa ilmu pengetahuan pada kala itu. Inilah yang menjadi alasan Al-Farabi pindah ke Harran- salah satu pusat kebudayaan Yunani di Timur Tengah untuk belajar pada Yuhanna Bin Jilan. Tetapi tidak lama setelah ia menguasai bahasa itu, ia kembali ke Baghdad untuk kembali mendalami lagi ilmu logika. Waktunya dihabiskan untuk memberikan pengajaran dan mengulas buku-buku filsafat. Salah satu murid Al-Farabi yang terkenal adalah Yahya Bin ‘Adiy. Cendikiawan ini kemudian pindah ke Aleppo dan mendapatkan kedudukan tinggi dari pemimpin setempat. Ialah Safiuddin Al-Hamadani dari Bani Ikhsyid sebagai penguasa Aleppo pada 333 H. Penguasa ini pernah mengajak Al-Farabi untuk mendampinginya menyerang Damaskus. Setelah berhasil, Al-Farabi amat dimuliakan. Ia menghabiskan sisa hidupnya di Damaskus dengan bertemu banyak ulama dan pemikir sebagai imbalan yang diberikan Safiuddin kepadanya.

Dalam berbagai riwayat disebutkan bahwa banyak karya Al-Farabi yang ditulis di masa kepindahannya dari Baghdad ke Damaskus. Periode ini dianggap sebagai titik kematangan pemikiranAl-Farabi.[3] Telah disebutkan diatas tentang kedekatannya dengan pemimpin sekelas Safiuddin Al-Hamadani, dan nampaknya hal ini menjadi pengaruh atas penulisan karyanya yang fundamental dalam masalah politik, yaitu Al-Siyasah Al-Madaniyah (Politik Kenegaraan), dan Ara’ul Ahlul Madinah Al-Fadhilah (Pikiran Penduduk Negeri Utama).

  1. Konsep Dasar Negeri Utama Al-Farabi

Dua buah karya Al-Farabi itu memiliki keasamaan dengan Republik karangan Plato. Memang dalam soal-soal kemasyarakatan, diantara filososf-filosof Yunani, Plato memiliki pengaruh besar kepada filosof-filosof Islam. Seperti Plato, Al-Farabi mengungkapkan bahwa bagian-bagian suatu negeri sangat erat hubungannya satu sama lain dan saling berkerja sama.[4]

Di sisi lainnya Al-Farabi juga punya kesamaan pendapat dengan Aristoteles dalam hal individu. Yaitu individu mempunyai watak sosial yang tidak akan mampu memenuhi semua kebutuhan dan menggapai kebahagiaan tanpa sosialitas.[5] Al-Farabi mengupas tentang kemampuan praktis manusia seperti kehendak (will) dan hasrat (desire). Hasrat dipahami sebagai kesukaan manusia pada rangsangan inderawi/khayali. Ini terjadi pada manusia dan hewan. Sedangkan kehendak memerlukan pertimbangan dan pemikiran khusus berlaku pada manusia saja.[6] Dari dasar ini kemudian membentu pola interaksi antar-individu dalam masyarakat.

Interaksi ini dibina secara minor melalui individu kemudian akan terbentuk seperti anggota-anggota badan dimana apabila salah satunya menderita maka anggota lainnya akan merasa juga. Kebahagiaan pribadi harus ada di dalam masyarakat yang baik. Hampir sejalan dengan itu, Dr. A. Lysen, seorang sosiolog mengatakan bahwa kesatuan-kesatuan itu , seperti halnya jiwa manusia dapat diketahui dengan cara: pertama, dari kelakuan-kelakuan yang merupakan penjelmaannya yang lahir/jasadi; kedua, dengan pengalaman batin dalam ruh manusia sebagai perseorangan sendiri.[7] Dengan interaksi ini kemudian membentuk kerjasama sosial, termasuk politik di dalamnya. “Negeri Utama” Al-Farabi adalah konsep filsafat politik utopis (khayalan) yang ingin mengungkap bentuk ideal-paripurna sebuah negara yang baik.

  1. Gambaran Ideal Negeri Utama

Kegiatan politik sangat dekat hubungannya denga manajemen kerjasama sosial. Politik merupakan pengendali yang sentral untuk gerak hidup masyarakat. Pada masa hidup Al-Farabi kala itu tentunya sistem monarkhi absolut dianut oleh hampir seluruh negeri di dunia. Tetapi ia telah memikirkan tentang “Kebahagiaan tertinggi” untuk penduduk “Negeri Utama” yang ia dambakan.

Bisa dibilang pendapat Al-Farabi cenderung terlalu “Sosialis” di masanya. Karenanya, pemikiran cendekiawan ini benar-benar menjadi pembanding untuk bentuk monarkhi absolut. Dr. A. Lysen menyebut sistem ini monarkhi absolut dengan sindiran, “ Seluruh pergaulan hidup digunakan untuk kepentingan manusia yang seorang itu saja (Raja/Kaisar–Pen).[8]

Ciri khas Negeri Utama Al-Farabi ialah sebagai berikut :

  • Kepemimpinan Raja-Filosof

Plato benar-benar mempengaruhi pemikiran Al-farabi dalam memadankan negara dengan manusia yang memiliki organ-organ dengan fungsinya masing-masing. Bagian terpenting adalah otak (kepala) namun harus dikendalikan oleh hati. Maka dalam konteks negara, yang terpenting adalah pemimpinnya. Dan secara hierarkhis dibantu oleh yang lain, sebagai mana jantung dan organ lainnya membantu kinerja otak.[9]

Ia kemudian membuat kulifikasi ideal untuk seorang pemimpin seperti : 1) kecerdasan, 2) ingatan yang baik, 3) pikiran yang tajam, 4) cinta pada pengetahuan, 5) sikap zuhud kepada harta dan semua hiasan dunia, 6) cinta pada kejujuran, 7) murah hati, 8) cinta keadilan, 9) ketegaran dan keberanian, 10) sehat jasmani, dan, 11) fasih berbicara.[10] Ditambahkannya lagi sebuah kriteria yang amat filosofis, yaitu Aql Fa’al /Akal Aktif, sebuah kemampuan akal yang dimiliki seorang pemimpin yang telah mendapatkan kebahagiaan hakiki  dan senang berhubungan dengan alam rohani.[11] Kebahagiaan hakiki yang dimaksudkan olehnya terpengaruh dari konsep Tasawuf Al-Farabi, yaitu Tasawuf Eudemonistik (kebahagiaan) sebagai serapan dari pemikiran Aristoteles tentang kajian Eudaimonia (bahagia). Franz Magnis Suseno menjelaskan tentang konsep ini, yaitu kita hendaknya hidup dan bertindak sedemikian rupa sehingga kita mencapai hidup yang baik, yang bermutu. Hidup kita akan menjadi lebih baik bila kita mampu menggapai akhir tujuan hidup kita.[12] Al Farabi menambahkan dalam makna kebahagiaan itu sebagai “…jika jiwa manusia menjadi sempurna di dalam wujud dimana ia tidak membutuhkan, dalam eksistensinya, kepada suatu materi.” [13]

Ia berhasil menyelesaikan permasalahan Eudaimonia Aristoteles tentang “kehidupan yang bermutu” dengan menambahkan konsep Asketisme Tasawuf tentang “peniadaan diri.” Kajiannya di atas itu memiliki konsekuensi, apabila ingin menggapainya maka harus dilakukan dengan dua kehendak, yaitu tindakan fikir dan tindakan fisik. Tidak semua jiwa mampu menggapai martabat kebahagiaan hakiki. Hanya jiwa yang suci dan bersih saja yang mampu meraihnya. Jiwa yang suci mampu menempuh alam ghaib, melmpaui alam materi menuju alam kesaksian hakiki dan keindahan abadi. Inilah yang disebut sebagai Ittishal (berhubungan dengan Allah).[14] kemampuan seperti itu memang dimiliki secara sempurna oleh seorang Nabi. Jika tiada seorang Nabi sebagai seorang kepala negara, maka dapat digantikan oleh seorang yang dipandang memiliki sifat Nabi, yaitu filosof.[15] Karena, minimalnya para filososf memiliki Akal Fa’al, sekalipun tidak bisa mendapat wahyu. Terlihat sekali bahwa ia mengambil Par Excellence seorang pemimpin ideal dengan sosok Nabi/Rasulullah. Berarti telah terjadi Islamisasi dalam pemikiran seorang Raja-Filosof-nya Plato yang ia usung.

  • Tatanan Organik yang Harmonis Sebuah Negeri

Kerjasama sosial dari segi cakupannya dapat dibagi menjadi tiga yaitu : 1) kerjasama antara penduduk dunia secara umum (Ma’murah), 2) kerjasama dalam satu komunitas (Ummah), 3) kerjasama antara penduduk negeri (Madinah).[16] Ia melihat bahwa negeri adalah tempat terbaik bagi manusia untuk mencapai kesempurnaannya. Kebahagiaan dalam sebuah negeri dapat dengan mudah dicapai karena sikap kooperatif para penduduknya sebagai tatanan organik di dalamnya. Untuk dapat melihat bentuk ideal Negeri Utama secara utuh, Al-Farabi menyebutkan negeri-negeri yang berlawanan/negasi dari Negeri Utama, seperti :

  • Negeri-Negeri Bodoh (Al-Madinah Al-Jahilah)

Negeri bodoh didefinisikan sebagai negeri yang penduduknya tidak mengenal kebahagiaan (hakiki). Kebahagiaan ini tidak pernah terlintas dalam hati penduduknya. Sekalipun diingatkan tentang kebahagiaan hakiki itu mereka akan mempercayainya.[17]

Di dalam bentuk ini masih terbagi lagi dalam beberapa jenis seperti :

  1. Negeri Kebutuhan Dasar (Al-Madinah Al-Dharuriyah), sebuah negeri yang penduduknya tidak peduli dengan kebahagiaan hakiki. Mereka berkumpul hanya untuk kebahagiaan materiil dan kebutuhan primer.
  2. Negeri jahat (Al-Madinah Al-Nadzalah), sebuah negeri yang penduduknya mencukupkan diri pada kekayaan dan kepemilikan materiil. Segala kekayaan yang dimiliki hanya untuk memenuhi kenutuhan badani. Tipe negeri yang seperti ini adalah Negeri Kebutuhan Dasar yang ekstrim.
  3. Negeri Rendah (Al-Madinah Al-Khassah), Negeri yang penduduknya berorientasi pada kenikmatan dan kesenangan. Masyarakatnya lebih mementingkan hiburan dan hura-hura.
  4. Negara kehormatan, adalah sebuah negeri yang penduduknya berorientasi pada gengsi dan kehormatan publik. Setiap penduduknya berusaha mendapatkan pujian secara lisan dan perbuatan demi kemuliaan diri. Terdapat sedikit “kebaikan” dari tipe negeri ini, karena adanya penghargaan atas kelebihan orang lain. Tetapi karena kelebihan ini tidak mengerucut hingga kebahagiaan hakiki, hanya sebatas pada kegilaan terhadap penghormatan, maka ini dapat membawanya pada bentuk negeri tiranik.
  5. Negeri Tiranik/Despotik (Al-Madinah Al-Taghallub), sebuah negeri yang penduduknya menyintai penaklukan dan dominasi menjadi dambaan.Warga negeri terkonsentrasi pada masalah “Cinta Kekuasaan.” Sifat ini membuat penduduknya menjadi keras, tak segan menumpahkan darah dan memperbudak orang lain. Kebutuhan-kebutuhan dipenuhi melalui eksploitasi kepada pihak yang kalah. Penguasa negeri ini pastilah memiliki kelebihan dalam kekuatan dan kelicikan.
  6. Negeri Demokratis (Al-Madinah Al-Jama’iyah), negeri ini setiap penduduknya mendapatkan keleluasaan dan dibiarkan melakukan apapun yang dikehendakinya. Hukum yang dianut menunjukkan bahwa sama sekali tidak ada orang yang lebih baik daripada orang lain. Penguasa mengikuti kehendak orang-orang yang dikuasainya. Al-Farabi menyebut bentuk negeri ini sebagai yang paling terpuji diantara Negara-Negara Bodoh lainnya. Semua orang menyukainya karena segala kehendak dapat tersalurkan dalam negeri ini. Iapun meyakini dalam bentuk negeri ini akan banyak lahir orang-orang bijak. Meskipun sedemikian, orang-orang bijak ini tidak akan menjadi penguasa karena rakyat Negeri Demokratis lebih akan memilih/mencari penguasa yang memudahkan mereka menyalurkan kehendak. Sehingga konsep Raja-Filosof tak dapat diterapkan. Tetapi bentuk Negeri Demokratis dapat menjadi transisi menuju Negeri Utama yang sebenarnya.
  • Negeri-Negeri Pembangkang / Korup / Fasik (Al-Madinah Al-Fasiqah)

Negeri-negeri ini mengenal Tuhan dan kehidupan akhirat, tetapi mereka gagal dalam mengamalkannya. Ditambah lagi perbuatan mereka sama seperti penduduk Negeri-negeri Bodoh. Penduduknya menolak untuk mengamalkan apa-apa yang mereka percayai. Kecondongan sikapnya pun lebih kepada keburukan dibandingkan dengan kebaikan.

  • Negeri-Negeri yang Berubah (Al-Madinah Al-Mubaddilah)

Bentuk bagi negeri-negeri yang penduduknya mula-mula memiliki pandangan dan pikiran yang sama dengan penduduk Negeri Utama. Tetapi kemudian mengalami kerusakan/kekeliruan dalam pandangan tentang Tuhan dan Akal Aktif. Sehingga kemudian Negeri-negeri ini berubah menjadi negeri sesat.

  • Negeri-Negeri yang Sesat (Al-Madinah Al-Dhalalah)

Negeri-negeri ini penduduknya mengetahui tentang pandangan yang benar dan perbuatan baik, tetapi kemudian sesat karena seperti telah disebutkan di atas. Hal itu disebabkan oleh pemimpinnya yang menganggap dirinya nabi (nabi palsu) dan kemudian menyesatkan banyak penduduk melalui kata-kata dan perbuatan.[18]

  1. Negeri Utama (Al-Madinah Al-Fadhilah)

Nilai ideal Negeri Utama bagi Al-Farabi dimulai secara fundamental-general adalah kerjasama sosial. Menurutnya, penduduk Negeri Utama terbagi dalam kelompok-kelompok atau semacam kelas-kelas sosial. Diferensiasi kelas tersebut didasarkan pada kelebihan-kelebihan, kecenderungan-kecenderungan alamiah, dan kebiasaan-kebiasaan dari masing-masing individu yang tergabung di dalamnya. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan itu maka tercipta kelompok yang layak memerintah dan diperintah. Pembagian ini bersifat hierarkhis seperti fungsi-fungsi organ tubuh. Ada yang tinggi, sedang, dan rendah. Semua bagian memainkan peran masing-masing agar tercipta keseimbangan, harmoni bagi Negeri Utama.[19] Sekalipun mempertahankan hierarkhi, namun tujuannya ialah efektivitas sosial. Ahmad Hanafi, M.A. menegaskan bahwa kesamaan pemikiran Plato dan Al-Farabi terlihat dalam bentuk Republik-nya.[20] Dalam masalah kebahasaan, ia menyebut kepala Negeri Utama sebagai “Raja” tetapi kriteria-kriteria yang ia berikan sangat sulit dipenuhi dalam tatanan monarkhi. De Boer menganggap Al-Farabi telah menonjolkan sifat-sifat kemanusiaan dan kefilosofan pada diri Kepala Negara (dari Negeri Utama) nya.[21]

Peran Raja-Filosof amat sentral dalam ide Negeri Utama yang ideal bagi Al-Farabi. Saat ia berbicara tentang kategorisasi pemimpin, ia membagi dalam tiga jenis pemimpin dan kapasitasnya yaitu : 1) pemimpin tertinggi yang memiliki kapasitas pemandu dan penasihat; ia tidak butuh panduan dan nasihat, 2) pemimpin sub-ordinat yaitu pemimpin yang juga dipimpin ; mampu memandu dan menasihati namun masih membutuhkan bimbingan, 3) objek kekuasaan, yaitu mereka-mereka yang dipimpin secara penuh karena tidak memiliki kapasitas memimpin dan masih butuh panduan serta nasihat. Kategorisasi ini digunakan olehnya untuk menjelaskan struktur pejabat negara.[22]

Keunikan pemikiran Al-Farabi ialah konten eskatologis dalam pemikiran politik Negeri Utama. Dia berpendapat bahwa pada dasarnya hanya penduduk Negeri Utama saja yang mampu menggapai kebahagiaan, tetap hidup setelah mati sebab mereka telah mengaktualkan jiwa intelektual mereka yang terpisah dari badan.[23] Menurutnya juga ada dua kemugkinan nasib Negeri Bukan-Utama secara eskatologis. Pemimpin dan warga negeri yang Jahil (Bodoh), yang sadar membuat kejahatan dan selalu bernafsu kenikmatan semu, jiwanya akan menderita selama-lamanya setelah kematian. Namun bagi mereka yang tak pernah mengetahui kebahagiaan yang sejati/hakiki, setelah mati akan terlahir kembali sebagai binatang dan akhirnya akan musnah tanpa bekas. Jiwa- jiwa orang yang berpengetahuan tidaklah kekal, hanya jiwa orang yang baik akan hidup abadi.[24] Maka kesimpulannya adalah Negeri Utama ini harus mengenal Tuhan, Akal Aktif (Aql Fa’al) seorang Raja-Filosof, bersandar pada tata nilai kebajikan yang harmonis, dan sadar/percaya akan dunia eskatologis (setelah mati).

PENUTUP DAN KESIMPULAN

Sosok cendekiawan yang begitu kompleks dan paripurna memang terdapat dalam diri Al-Farabi. Sebagaimana cendekiawan-cendekiawan di masanya yang mapu membahas berbagai bidang, Al-Farabi pun sedemikian. Ia telah berhasil mengkonstruksikan pandangan metafisika dan epistemologisnya untuk kemudian menjadi alas-pijak filsafat politiknya.[25] Seyyed Hossein Nasr menyebut Al-Farabi sebagai pendiri filsafat politik Islam.[26] Bakker meyakini bahwa sumber inspirasi filsafat politik Al-Farabi berasal dari karya-karya Plato, yakni Politeia dan Nomai.[27] Dalam masalah penulisan, terutama kemapanan bahasa ilmiahnya tidak perlu diragukan. Ia banyak mengangkat hal-hal kontradiktif. Setiap kali terlintas suatu ide dalam pikirannya, maka ia harus menyebutkan keberlawanannya.[28] Hossein Ziai menambahkan bahwa Al-Farabi bukan saja mengadopsi pemikiran Plato, tetapi secara kreatif mengharmonisasikannya dengan epistemologi Aristotelian, prinsip-prinsip ontologi dan kosmologi dalam batas bingkai agama Islam.[29]

Tidak bisa dipungkiri bahwa sebenarnya pemikiran politik Al-Farabi termasuk bentuk utopia (khayalan) yang diinginkan dan diyakini kebenarannya oleh dirinya. Dalam teori politik Islam, seorang Imam-Khalifah harus memegang teguh hukum syariat yang diwahyukan oleh Allah sebagai panduan.[30] Ini yang menyebabkan ia menempatkan Akal Aktif di dalam pemikirannya. Kenyataan ini dipercayai oleh Ahmad Hanafi, M.A. karena ia terpengaruh oleh doktrin Syiah[31], pola sedemikian sama dengan doktrin tentang keparipurnaan Imam Mahdi sebagai “Imam/Pemimpin yang tersembunyi” dan diyakini oleh Syiah akan menyelamatkan/mengembalikan keadilan di atas muka bumi (konsep Mahdiisme). Seorang sarjana Syiah Modern, Abdulaziz A. Sachedina mengatakan (tentang Mahdiisme Syiah-Pen) bahwa didalamnya terdapat refleksi tentang kesalehan, harapan, kekecewaan, dan aspirasi golongan Syiah untuk masa depan yang makmur.[32]

Utopia kepemimpinan sang raja-Filosof dalam Negeri Utamanya, tidak kemudian oleh Al-Farabi “didiamkan”. Ia menginsafi khayalannya itu seraya berkata, “…Berkumpullah seluruh perangai (baik) ini pada satu orang sangatlah sulit. Jika saja semuanya berkumpul pada sejumlah orang maka mereka semua berhak menjadi pemimpin, agar mereka semua saling melengkapi satu sama lainnya. Dengan kata lain, diantara mereka ada yang menjadi orang bijak, orang adil, pemilik semangat besar dan lain-lain….”[33] Sekalipun utopis, Seyyed Hossein Nasr menyimpulkan bahw Al-Farabi menyelaraskan ide Raja-Filosof Plato dengan ide kenabian dalam tradisi monoteistik.[34] Maka dari itu kita perlu menghargainya sebagai sebuah nilai yang minimalnya akan mampu menghidupkan rasa rindu kita pada pemimpin yang ideal yang mampu menjawab tantangan zaman sembari menjadi tauladan bagi kebaikan. Tidaklah mungkin kita akan merasa cukup atas pemimpin yang “belum selesai pada dirinya” tatkala mengayomi rakyat.

[1] Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1990. Hal. 81

[2] Haddad, Khalid, 12 Tokoh Pengubah Dunia, Jakarta : Gema Insani Press, 2009. Hal. 232

[3] Ibid. Hal. 234

[4] Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1990. Hal. 96

[5] Subhi-Ibrahim, M., Al-Farabi : Sang Perintis Logika Islam, Jakarta : Dian Rakyat, 2012. Hal. 72

[6] Fakhri, Madjid, Sejarah Filsafat Islam : Sebuah Peta Kronologis, terj. Zainul Ain, Bandung : Mizan, 2002. Hal. 52

[7] Lysen, A., Individu dan Masyarakat, terj. Tim Penerbit, Bandung : Sumur Bandung, 1964. Hal. 16

[8] Ibid,. Hal 35

[9] Subhi-Ibrahim, M., Al-Farabi : Sang Perintis Logika Islam, Jakarta : Dian Rakyat, 2012. Hal. 77

[10] Ringkasan dari Khalid Haddad (Hal.247) dan M. Subhi-Ibrahim (Hal.77)

[11] Haddad, Khalid, 12 Tokoh Pengubah Dunia , Jakarta : Gema Insani Press, 2009. Hal.97

[12] Ibid,, Hal 97

[13] Madkour, Ibrahim, Filsafat Islam : Metode dan Penerapan, terj. Yudian Wahyudi Asmin dan Ahmad Hakim Mudzakir, Jakarrta : Rajagrafindo Persada, 1996. Hal. 32

[14] Ibid,, Hal 32

[15] Subhi-Ibrahim, M., Al-Farabi : Sang Perintis Logika Islam, Jakarta : Dian Rakyat, 2012. Hal. 77

[16] Fakhri, Madjid, Sejarah Filsafat Islam : Sebuah Peta Kronologis, terj. Zainul Ain, Bandung : Mizan, 2002. Hal. 53

[17] Hanafi, Ahmad,Pengantar Filsafat Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1990. Hal.97

[18] Subhi-Ibrahim, M., Al-Farabi : Sang Perintis Logika Islam, Jakarta : Dian Rakyat, 2012. Hal. 76

[19] Ibid., hal. 77.

[20] Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1990. Hal. 96-97

[21] De Boer,History of Philosophy in Islam, terj., Kairo : La jnatut Ta’lif, 1957. Hal. 47

[22] Subhi-Ibrahim, M., Al-Farabi : Sang Perintis Logika Islam, Jakarta : Dian Rakyat, 2012. Hal.79.

[23]  Black, Debora L., “Al-Farabi”, dalam Seyyed Hossein Nasr, Oliver Leaman, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam : Buku Pertama, Terj. Tim Mizan, Bandung : Mizan, 2003. Hal. 240.

[24] JWM, Bakker,Sejarah Filsafat dalam Islam, Yogyakarta : Kenisius, 1978. Hal. 39

[25] Subhi-Ibrahim, M., Al-Farabi : Sang Perintis Logika Islam, Jakarta : Dian Rakyat, 2012. Hal.71

[26] Nasr, Seyyed Hossein, “Theology, Philosophy, and Spirituality.” Dalam Seyyed Hossein Nasr, Islamic Spirituality : Manifestation, New York : Crossroad Publishing Company, 1991. Hal. 412

[27] JWM, Bakker, Sejarah Filsafat dalam Islam, Yogyakarta : Kenisius, 1978. Hal. 37

[28] Haddad, Khalid, 12 Tokoh Pengubah Dunia, Jakarta : Gema Insani Press, 2009. Hal. 236

[29] Ziai, Hossein, “Islamic Philosophy (Falsafah).” Dalam Tim Winter (Ed.), The cambridge Companion to Classic Islamic Theology, Cambridge : Cambridge University Press, 2008. Hal. 63

[30] Subhi-Ibrahim, M., Al-Farabi : Sang Perintis Logika Islam, Jakarta : Dian Rakyat, 2012. Hal. 80

[31] Ahmad,Pengantar Filsafat Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1990. Hal. 95.

[32] Sachedina, Abdulaziz A.,Islamic Messianism ; The Idea of The Mahdi in Twelfer Shiism, New York : State University of New York Press, 1981. Hal. 182

[33] Haddad, Khalid,12 Tokoh Pengubah Dunia, Jakarta : Gema Insani Press, 2009. Hal. 248

[34] Nasr, Seyyed Hossein, “Theology, Philosophy, and Spirituality.” Dalam Seyyed Hossein Nasr,

Islamic Spirituality : Manifestation, New York : Crossroad Publishing Company, 1991. Hal. 412-413


Tinggalkan komentar